Sunday, June 07, 2015

SEBUAH PENGANTAR | Seni Rupa Kontemporer: Aku Sendirian (Sebuah Resiko)


Aktif sejak 2012, Pemuda Setempat dibentuk atas inisiatif sejumlah mahasiswa interdisiplin seni rupa dan desain Institut Teknologi Bandung. Adalah video yang mereka garap dan sebarkan secara viral lewat berbagai kanal (macam Youtube dan Instagram) yang membuat saya mengetahui kelompok seniman ini. Video-video itu menghibur, sebab, secara nakal, bisa membuat saya teringat dengan referensi visual yang lain. Dari obrolan-obrolan kami, saya jadi tahu video-video tersebut adalah cara Pemuda Setempat mempublikasikan pameran-pameran mereka. Video-video viral tersebut kemudian saya anggap bukan saja sebagai jalan masuk yang menyenangkan untuk mengetahui pameran (serta karya-karya) mereka. Mereka juga bisa membantu saya menangkap semangat Pemuda Setempat dalam berkarya. Secara umum, saya melihat ada semangat alternatif dalam praktik berkesenian mereka. Sedikit nakal, kasual, dan luwes. Tapi pada saat bersamaan juga kaya referensi dan kritis.

Dalam Seni Rupa Kontemporer: Aku Sendirian (Sebuah Resiko) semangat seperti itu juga terlihat. Pilihan mereka untuk bermain-main dengan gambar figur Jim Supangkat, misalnya, menunjukan kenakalan mereka. Gunting-tempel gambar Jim dengan gambar karya lukis ternama (misalnya Monalisa) dan gambar seniman dunia (seperti Van Gogh) adalah contohnya. Hadirnya kalimat-kalimat lucu yang menyertai gambar Jim juga menampilkan sisi nakal itu. Lebih mendasar dari itu, saat mereka punya ide dan sepakat untuk mempresentasikan Jim Supangkat, salah satu nama besar dalam skena seni rupa kontemporer Indonesia, dengan cara seperti itu, jelaslah bahwa ada semangat untuk tidak takut bermain-main dengan sang tokoh dan mitos yang menyelubunginya.

Di lain pihak, cara mereka merespon tema yang diajukan ‘Together We Are Lonely’ dengan menghadirkan karya yang berkaitan dengan Jim Supangkat bisa dilihat sebagai cerminan Pemuda Setempat yang kaya referensi (khususnya terkait seni rupa). Dalam bayangan saya, tanpa referensi yang memadai tentang sejarah seni rupa Indonesia, seniman (khususnya yang tergolong masih sangat muda) akan kesulitan merelasikan tema tersebut dengan sosok Jim Supangkat. Jim Supangkat sendiri menjadi nama penting dalam sejarah seni rupa Indonesia sebab berbagai kiprahnya. Salah satu hal lekat dengan Jim adalah dirinya sebagai kurator seni rupa kontemporer pertama di Indonesia. Pilihan yang, menurut Patrick D. Flores dalam “Past Peripheral”, mengakibatkan adanya istilah kontemporer dalam sejarah seni rupa Indonesia. Pernyataan Patrick itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari tesisnya tentang logika kuratorial sebagai logika yang menggerakkan meda seni rupa kontemporer di Asia Tenggara.

Dalam karya Pemuda Setempat, pencapaian-pencapaian Jim dipresentasikan dalam sebuah linimasa. Di bagian atas linimasa, ditampilkan apa saja yang dilakukan oleh Jim sejak awal perkenalannya dengan seni rupa hingga tahun 2005. Sedangkan bagan bawah linimasa menampilkan kejadian-kejadian di dunia seni rupa Indonesia yang beririsan dengan karier Jim. Gambar-gambar yang menghadirkan sosok Jim sendiri tampil sebagai ilustrasi untuk memberi gambaran atmosfer yang meliputi karier Jim sebagai kurator di rentang waktu yang berbeda.

Sampai di sini, saya melihat, tema pameran ini hadir dalam Seni Rupa Kontemporer: Aku Sendirian (Sebuah Resiko) sebab ia menampilkan sosok Jim Supangkat sebagai perintis (profesi kurator) dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia. Yang menarik, sejak dari judul karya, Pemuda Setempat bisa dikatakan mengambil posisi kritis dengan mengimbuhi frasa ‘sebuah resiko’. Mereka seolah menegaskan bahwa memilih menjadi perintis berarti lekat dengan kesendirian. Alih-alih menciptakan narasi romantis terkait posisi Jim Supangkat di sejarah seni rupa Indonesia, kesendirian ditampilkan sekedar sebagai resiko yang hadir dari pilihan itu. Dan, sebagai sebuah resiko, kesendirian layak disikapi dengan berani atau, setidaknya, biasa saja.***



Sita Magfira
Lahir di Palu, belajar di Yogyakarta. Aktif di berbagai pameran seni rupa, baik sebagai penulis maupun kurator.

No comments:

Post a Comment