Aktif sejak
2012, Pemuda Setempat dibentuk atas inisiatif sejumlah mahasiswa interdisiplin
seni rupa dan desain Institut Teknologi Bandung. Adalah video yang mereka
garap dan sebarkan secara viral lewat berbagai kanal (macam Youtube dan Instagram)
yang membuat saya mengetahui kelompok seniman ini. Video-video itu menghibur, sebab,
secara nakal, bisa membuat saya teringat dengan referensi visual yang lain.
Dari obrolan-obrolan kami, saya jadi tahu video-video tersebut adalah cara
Pemuda Setempat mempublikasikan pameran-pameran mereka. Video-video viral
tersebut kemudian saya anggap bukan saja sebagai jalan masuk yang menyenangkan
untuk mengetahui pameran (serta karya-karya) mereka. Mereka juga bisa membantu
saya menangkap semangat Pemuda Setempat dalam berkarya. Secara umum, saya
melihat ada semangat alternatif dalam praktik berkesenian mereka. Sedikit
nakal, kasual, dan luwes. Tapi pada saat bersamaan juga kaya referensi dan
kritis.
Dalam Seni Rupa Kontemporer: Aku
Sendirian (Sebuah Resiko) semangat seperti itu juga terlihat. Pilihan
mereka untuk bermain-main dengan gambar figur Jim Supangkat, misalnya, menunjukan
kenakalan mereka. Gunting-tempel gambar Jim dengan gambar karya lukis ternama
(misalnya Monalisa) dan gambar seniman dunia (seperti Van Gogh) adalah
contohnya. Hadirnya kalimat-kalimat lucu yang menyertai gambar Jim juga
menampilkan sisi nakal itu. Lebih mendasar dari itu, saat mereka punya ide dan
sepakat untuk mempresentasikan Jim Supangkat, salah satu nama besar dalam skena
seni rupa kontemporer Indonesia, dengan cara seperti itu, jelaslah bahwa ada
semangat untuk tidak takut bermain-main dengan sang tokoh dan mitos yang
menyelubunginya.
Di lain pihak, cara mereka merespon tema yang diajukan ‘Together We Are
Lonely’ dengan menghadirkan karya yang berkaitan dengan Jim Supangkat bisa
dilihat sebagai cerminan Pemuda Setempat yang kaya referensi (khususnya terkait
seni rupa). Dalam bayangan saya, tanpa referensi yang memadai tentang sejarah
seni rupa Indonesia, seniman (khususnya yang tergolong masih sangat muda) akan
kesulitan merelasikan tema tersebut dengan sosok Jim Supangkat. Jim Supangkat
sendiri menjadi nama penting dalam sejarah seni rupa Indonesia sebab berbagai
kiprahnya. Salah satu hal lekat dengan Jim adalah dirinya sebagai kurator seni
rupa kontemporer pertama di Indonesia. Pilihan yang, menurut Patrick D. Flores
dalam “Past Peripheral”, mengakibatkan
adanya istilah kontemporer dalam sejarah seni rupa Indonesia. Pernyataan
Patrick itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari tesisnya tentang logika
kuratorial sebagai logika yang menggerakkan meda seni rupa kontemporer di Asia
Tenggara.
Dalam karya Pemuda Setempat,
pencapaian-pencapaian Jim dipresentasikan dalam sebuah linimasa. Di bagian atas
linimasa, ditampilkan apa saja yang dilakukan oleh Jim sejak awal perkenalannya
dengan seni rupa hingga tahun 2005. Sedangkan bagan bawah linimasa menampilkan
kejadian-kejadian di dunia seni rupa Indonesia yang beririsan dengan karier
Jim. Gambar-gambar yang menghadirkan sosok Jim sendiri tampil sebagai ilustrasi
untuk memberi gambaran atmosfer yang meliputi karier Jim sebagai kurator di
rentang waktu yang berbeda.
Sampai di sini, saya melihat, tema pameran
ini hadir dalam Seni Rupa Kontemporer:
Aku Sendirian (Sebuah Resiko) sebab ia menampilkan sosok Jim Supangkat
sebagai perintis (profesi kurator) dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia.
Yang menarik, sejak dari judul karya, Pemuda Setempat bisa dikatakan mengambil
posisi kritis dengan mengimbuhi frasa ‘sebuah resiko’. Mereka seolah menegaskan
bahwa memilih menjadi perintis berarti lekat dengan kesendirian. Alih-alih menciptakan
narasi romantis terkait posisi Jim Supangkat di sejarah seni rupa Indonesia,
kesendirian ditampilkan sekedar sebagai resiko yang hadir dari pilihan itu.
Dan, sebagai sebuah resiko, kesendirian layak disikapi dengan berani atau,
setidaknya, biasa saja.***
Sita Magfira
Lahir di Palu, belajar di Yogyakarta. Aktif di berbagai pameran seni rupa, baik sebagai penulis maupun kurator.
No comments:
Post a Comment