Tuesday, June 16, 2015

SEBUAH PENGANTAR | Malih Rupa



Dalam bahasa Jawa, kita mengenal ‘parikan’. Parikan serupa dengan pantun, tapi hanya terdiri dari dua larik. Seperti pantun, parikan kadang berisi petuah dan sindiran. Dalam masyarakat Jawa, parikan bergerak sebagai idiom yang masih terus digunakan dalam percakapan sehari-hari. Melihat isinya, tampaknya, parikan memang dimaksudkan untuk menjadi respon atas fenomena sosial yang terjadi pada suatu jaman. Meski menangkap fenomena sosial pada suatu jaman, isi parikan tampaknya dihendaki tidak lekang oleh zaman. Maksudnya, meski membaca parikan dari masa lampau, orang diharapkan masih bisa merelasikan (dan  belajar dari) nilai-nilai yang ada dalam parikan tersebut pada hari ini.

Dalam pameran kolaborasi antara Herda dan Yonaz, Vicha, dan Hasan ini, parikan jadi ide dasar untuk direspon secara visual. Adalah Herda yang mengerjakan parikan. Sedangkan Yonaz, Vicha, dan Hasan merespon parikan-parikan dari Herda secara visual. Cara Herda bermain-main dengan parikan bisa dikatakan piawai. Membaca parikan-parikan yang telah diplesetkannya, kita bisa melihat kenakalan dan kejeliannya sebagai seorang anak muda. Secara jeli –dan nakal—ia memplesetkan teks-teks parikan yang asli dengan teks yang bertaut dengan konteks hari ini. 
Hadirlah parikan baru sebagai satir atas gelagat-gelagat kebanyakan orang pada hari ini (misalnya, yang erat dengan perkembangan teknologi, yang erat dengan konsumerisme, yang erat dengan budaya populer). Contohnya tampak pada ‘Sepi ing pamrih, rame in...stagram’, ‘Manunggaling kawula lan Gucci’, ‘Jer basuki mawa selfie’, dan sebagainya. Pun Herda juga dengan cermat menangkap ikon-ikon yang khas dan dimengerti orang lain, baik secara dunia pun secara lokal, untuk kemudian dihadirkan dalam parikan-nya. Hal yang tampak dalam ‘Asu gedhe menang kerahe... amarga durung tau mungsuh Darthvader’ dan ‘Gusti Allah ora sare... Gusti Allah ora saba Liman.’

Melihat cara Herda bermain-main dengan parikan adalah keluar dari proses pemaknaan dan penggunaan teks parikan secara kaku. Parikan tidak lagi kita maknai sebagai bahasa ungkap yang hanya pas digunakan dalam percakapan bahasa Jawa atau dalam konteks pembicaraan yang lekat dengan ke-jawa-an. Poin ini, saya kira sejalan dengan bahasa  visual yang dipilih oleh Yonaz, Vicha, dan Hasan dalam karya mereka. Parikan-parikan Heirda, hadir sekaligus berganti rupa (malih rupa) dalam karya-karya mereka. Di Seri ‘Amanah Idola’ dari Yonaz, misalnya, idola-idola, macam Johny Depp, seolah menyampaikan parikan kepada kita. Atau lihat juga respon visual dari Vicha yang menggunakan teknik kolase dengan pilihan-pilihan visual yang lekat dengan nuansa budaya populer. Atau respon visual dari Hasan yang meski lebih sederhana (hanya didominasi oleh dua warna) dibandingkan karya dari Yonaz dan Vicha, tetaplah jauh dari simbol-simbol tradisi (khususnya Jawa). Malih Rupa bukan saja mewakili proses kreatif yang terjadi antara Herda, Yonaz, Vicha, dan Hasan. Bukan saja menunjukan bagaimana teks hadir sekaligus berganti rupa jadi karya visual. Ia juga mewakili titik dimana unsur tradisional yang acapkali (di)lekat(kan) dengan parikan berganti rupa jadi kekinian di tangan Herda, Yonaz, Vicha, dan Hasan.***

Sita Magfira

No comments:

Post a Comment