Sebab mengenal keduanya lewat karya-karya mereka, saat memilih untuk
mengajak Kumara Dandi dan Ungki Prasetyo untuk berpameran bersama, telah ada
kesadaran bahwa karya yang akan hadir akan tampak sangat kontras. Bisa jadi
justru kesadaran itulah yang justru memantapkan pilihan untuk mengundang
mereka. Bahkan dalam obrolan dengan mereka, ada permintaan untuk menegaskan
perbedaan tersebut.
Maka, meski sama-sama berbicara tentang kesepian, eksekusi visual dan
cara mereka menyikapi tema kesepian tampak sangat berbeda. Ungki hadir dengan
karya yang menjadikan hitam sebagai warna dominan dan disertai dengan warna
merah. Sebaliknya, pilihan-pilihan warna Dandi mengingatkan pada warna-warna
cerah khas film-film animasi. Bukan hanya itu, wujud-wujud yang hadir di karya
Ungki jelas tampak sangat kontras dengan karakter-karakter yang hadir di karya
Dandi. Ada kesan gelap saat melihat karya-karya Ungki. Karya Dandi menghadirkan
kesan yang berlawanan.
Apa yang coba mereka tampilkan untuk merespon tema kesepian juga tampak
sangat berbeda. Dalam karya Ungki kita bisa melihat kata-kata alone, think, dan enjoy. Kata-kata yang tampaknya mewakili pandangan Ungki tentang
kesepian. Baginya, waktu untuk sendiri dan sepi terkadang justru dibutuhkan
oleh manusia. Di saat itu, manusia bisa memikirkan tentang kehidupan pribadinya
masing-masing. Manusia dapat merefleksikan dirinya sendiri, lingkungannya, dan
apa yang mereka butuhkan dan seharusnya lakukan. Mungkin karena itu Ungki
kemudian memilih warna hitam dan merah dalam karyanya. Hitam bisa dilihat
merepresentasikan kesendirian dan kesepian. Merah bisa dibaca sebagai energi
yang didapatkan dari kesendirian dan kesepian itu.
Di sisi lain, karya Dandi bersinggungan dengan penggunaan teknologi.
Kita bisa melihat bagaimana karakter-karakter dalam karyanya yang penuh warna
itu tampak berwajah suram sambil menekuni gadget
masing-masing. Bisa jadi Dandi hendak mengatakan bahwa memainkan gadget (khususnya telepon-pintar) adalah
pilihan manusia untuk menghindari kesepian. Adanya kalimat “Boring but first let me take selfie”, misalnya, bisa dikaitkan
dengan pilihan tersebut. Alih-alih memilih untuk menikmati kesepian dan
kesendirian sebagai waktu untuk berpikir (seperti pandangan Ungki), Dandi
seolah menghadirkan manusia yang hendak menghindari rasa sepi dan sendiri. Pada
akhirnya, rasanya karya Ungki dan Dandi, selain kontras secara visual, menghadirkan
sisi berlawanan dari bagaimana kita menyikapi kesepian.***
Sita Magfira
Lahir di Palu, belajar di Yogyakarta. Aktif di berbagai pameran seni rupa, baik sebagai penulis maupun kurator.